Pages

Ads 468x60px

Labels

iOS

5/Life%20Style/feat-tab

Facebook

Business

5/Cars/feat-tab

Author Details

Templatesyard is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design. The main mission of templatesyard is to provide the best quality blogger templates.

Post Bottom Ad

ad728

Videos

6/Tech/feat-videos

Technology

3/Tech/feat-grid

Fashion

5/Life%20Style/feat2

Header Ads

ad728

Breaking News

Android

5/Tech/feat-tab

Fashion

5/Cars/feat-tab

Follow Us @templatesyard

Translate

Recent Slider

5/Tech/feat-slider

Comments

3/recent-comments

Post Top Ad

ad728

Beauty

4/Cars/post-per-tag

Main Slider

5/slider-recent

Culture

4/Future/post-per-tag

Photography

3/Tech/post-per-tag

Recent

3/recent-posts

Popular Posts

Selasa, 15 November 2016

Perlukah, Penanaman Nasionalisme?



Perlukah, Penanaman Nasionalisme?
Oleh Ririn Erviana

Anak-anak yang baru menempuh sekolah dasar di Indosesia selalu dibekali pelajaran dan penanaman nilai-nilai toleran, tenggang rasa dan saling menghormati. Para guru selalu menanamkan bhineka tunggal ika kepada anak-anak bangsa yang baru saja memijak bangku pendidikan formal. Begitu pula mengenai pluralitas negara Indonesia dan bagaimana bersikap dengan orang lain yang berbeda ras, budaya bahkan agama.
Pendidikan yang memiliki peran vital dalam pembentukan sendi-sendi pembangun bangsa seyogyanya mengenalkan kebudayaan suatu bangsa. Agar para anak-anak menjadikan bangsa dan negara adalah bagian dari hidupnya. Namun akan berbeda cerita ketika dalam sekolah dasar mereka demikian dibekali dengan berbagai nilai tentang perbedaan, tapi ketika sekolah menengah justru terdoktrin dengan paham-paham tertentu demi kepentingan tertentu pula.
Sebagai seorang muslim bukan tidak mungkin untuk bisa hidup rukun berdampingan hanya karena berbeda ras, budaya dan agami. Bahkan islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Rasulullah juga hidup berdampingan dengan nonMuslim pada masanya, mereka memiliki perjanjian pada piagam madinah sebagai kesepakatan satu sama lain. Demikian juga masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. pada masa Dinasti Fathimiyah masyarakat Islam juga memiliki perjanjian dengan nonMuslim yang disebut dengan perjanjian dengan ahlul zdimmah
Penanaman nilai nasionalisme pada sekolah dasar sudah semestinya berlangsung secara continue bahkan sampai menyelesaikan studi perguruan tinggi, atau sampai anak benar-benar dapat hidup bermasyarakat. Agar pendidikan menghasilkan benih yang benar-benar bekerja untuk membangun bangsanya, bukan hanya kepentingan golongan atau kelompoknya sendiri.
Demikian juga ketika anak tersebut kelak menjadi pemimpin bangsa ini. Dia akan melindungi semua lapisan masyarakat tanpa memandang suku, ras, budaya dan agama. Dia akan memperlakukan rakyatnya secara adil, tidak memandang bahwa si A satu suku dengannya, atau si B berbeda agama dengannya.
Oleh karena itu, peran pendidikan akan sangat mempengaruhi karakter, dan jiwa nasionalisme generasi penerus. Sehingga sebagai seorang guru dan calon guru hendaklah kita independen (bebas) dari unsur komersil maupun politik.
sumber gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZb8RYA_U7YTwbxlGD2MBtYHQjKsmJy0_0FZoFVrDpQJQoIU7NPNbGSMXeHTKe7NcaF0QRktfIM-rlo85u-CKusamRpWhmlwn_kg_EOPyqMIacdq0dK-PiFJnRTQ7s6zcYdePmxvINcVHl/s1600/polemik-kurikulum-2013-gus-ipul-usul-rembuk-pendidikan-nasional.jpg

Senin, 14 November 2016

Bagaimana Indonesia Berkarakter?



Bagaimana Indonesia Berkarakter?
Oleh Ririn Erviana

sumber gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdfEKVX_o442Rj_fbc7USX67o3J8TBS-ACCfiDaPJDz4XIIiOqG3Ps4yWmzxcB19PJf77aZG47kKnrWuacq_zVMhTdxphVzvdXupRN7WknM5yWQKyppdINt0K9P8or9rUmFDTwIagd4w/s1600/Pendidikan%25252BKarakter%25252Bdi%25252BSekolah%255B1%255D.jpg
Indonesia yang begitu kaya sumber daya alamnya ternyata tidak mampu memakmurkan seluruh lapisan penghuninya. Siapa yang tidak paham mengenai betapa melimpahnya kekayaan di tanah berpulau-pulau ini. Di smaping itu persoalan yang kita hadapi juga demikian berimbang dengan kekayaan alam yang kita punya. Apakah gerangan yang salah dengan negeri ini? Sebagai mahasiswa yang menuntut ilmu di jurusan tarbiyah penulis melihat permasalahan yang dihadapi bangsa ini melalui kacamata pendidikan.
Masalah-masalah yang demikian pelik dihadapi sejatinya berakar dari pendidikan. pendidikan yang kini telah sedikit demi sedikit mulai meleburkan tujuannya, yang semakin diperparah dengan subjek-subjek yang berada di dalamnya. Bukan lagi semestinya kita flashback pendidikan lampau yang lebih baik, atau bukan lagi harus menyalahkan pihak-pihak yang menentukan kebijakan. Tapi marilah kita melihat diri masing-masing, apakah posisi sebagai pendidik, stockholder, maupun sebagai peserta.
Kita juga harus sadari bahwa pendidikan di negeri ini telah miskin karakter. Tolak ukur yang dipakai hanya sekedar angka dan simbol. Kemudian melupakan apa esensi angka dan simbol tersebut. Pengembangan pendidikan juga hanya diarahkan pada aspek kognitif saja, sehingga mengesampingkan aspek afektif dan psikomotorik. Hal itu juga dapat diartikan seolah-olah semua anak di negeri ini harus menjadi ilmuwan dan filosof. Padahal anak-anak yang memiliki potensi atau kemampuan kognitif hanyalah seperlima dari keseluuruhan. Lalu bagaimana dengan mereka yang dalam kategori lain. Padahal masih ada kecerdasan linguistik, musik, parsial dan lain-lain semestinya juga diberi ruang untuk mengembangkan.
Itulah mengapa para anak-anak yang masih polos justru terdoktrin untuk bagaimana caranya memperoleh nilai setinggi-tingginya dan simbol sebagus mungkin, walau dengan cara-cara antimainstream. Para orangtua pun demikian, mereka rela membayar les atau kursus untuk anak-anak mereka asal bisa mendapat nilai bagus di sekolah, dalam waktu yang cepat. Sehingga anak selalu dituntut untuk cepat memahami materi dan mendapatkan nilai tanpa memperhatikan psikologi dan kebutuhan batin mereka.
Itulah mengapa dalam ilmu keguruan harus ada psikologi pendidikan dan pengembangan. Agar sebagai pendidik dapat mentransfer ilmu pengetahuan secara utuh tanpa membuat bosan para peserta apapun konten materinya.
Demikian juga penanaman karakter yang tidak kalah penting dalam pendidikan. secara sederhana dapat kita pahami bersekolah adalah upaya untuk membantu para peserta didik mempersiapkan diri agar bisa hidup sebagai warga masyarakat. Di dalam hidup bermasyarakat setidaknya ada tiga poin penting yang harus dimiliki, yaitu: Knowledge, Skill dan attitude. Tapi yang menduduki poin penting di sini adalah attitude atau sikap. Itulah bagian dimana pendidikan sikap atau afektif memang begitu penting dan tidak boleh dikesampingkan. Anak-anak yang memiliki kecerdasan namun tidak memiliki sikap akan sulit diterima masyarakat.
Oleh karenanya, dari manapun lapisan kita. Marilah kita sadari, bahwa semua masalah yang kita hadapi sekarang adalah akibat gagalnya pendidikan karakter. Sebagai orang tua, guru, maupun peserta marilah kita menjadikan kontekstual sebagai tolak ukur yang nyata. Bukan hanya angka, simbol dan sertifikasi yang kita kejar dari sebuah institusi pendidikan.

Minggu, 06 November 2016

PERADABAN ISLAM PADA MASA PERANG SALIB


sumber gambar : http://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2015/09/09/77726/tragikomedi-perang-salib-dan-penghianatan-assassin-1.html diakses pada tanggal 07 November 2016

A.           AWAL PERISTIWA PERANG SALIB
Perang salib berasal dari bahasa Arab: صليبة yang berarti kayu palang, tanda salib (dua batang kayu yang bersilang). Mereka datang memerangi Timur Islam dengan beberapa alasan. Luarnya agama tetapi di dalamnya penjajahan. Oleh karena itu, para sejarawan muslim menyebut peperangan tersebut dengan nama “Perang bangsa Eropa”. Sebagai isyarat bahwa peperangan tersebut adalah penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa untuk memerangi negeri-negeri Islam, serta merampas dan menguasai kekuasaanya.[1]
Dalam Ensiklopedia Islam, dijelaskan bahwa perang salib ialah gerakan kaum Kristen di Eropa yang memerangi umat Islam di Palestina secara berulang-ulang, mulai dari abad XI sampai pada abad XIII M. Untuk membebaskan Baitul Maqdis dari kekuasaan Islam dan bermaksud menyebarkan agama, dengan mendirikan Gereja dan kerajaan Latin di Timur.[2]
Namun, bangsa Eropa menyebut peperangan tersebut dengan nama “Perang Salib”. Karena mereka menggunakan Salib dalam peperangan tersebut sebagai tanda. Mereka mengklaim bahwa kedatangan mereka adalah untuk menyelamatkan “kuburan Al-Masih” dari tangan umat Islam. Padahal, kuburan, gereja-gereja, dan hal-hal lain yang dianggap suci oleh umat Nasrani dijaga dan dipelihara dengan baik oleh kaum muslimin. Tempat-tempat tersebut tidak pernah diganggu. Karena orang yang melakukan hal tersebut berhak mendapatkan hukuman khalifha dan cercaan orang banyak. Islam memandang bahwa menjaga tempat-tempat suci al Masih dan umta Nasrani adalah termasuk dalam perjanjian dengan ahli dzimmah.
Peperangan ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Philip K. Hitti berpendapat bahwa latar belakang terjadinya perang Salib karena reaksi dunia Kristen di Eropa terhadap dunia Islam di Asia, yang sejak tahun 632 melakukan ekspansi, bukan saja ke Syiria dan Asia Kecil, tetapi juga Spanyol dan Sicilia. Faktor lain adalah keinginan mengembara dan bakat kemiliteran suku Teutonia yang telah mengubah peta Eropa sejak mereka memasuki lembaran sejarah penghancuran gereja, Holy Sepulchre adalah sebuah gereja yang didirikan di atas makam Yesus di kubur, pembangunannya dilakukan oleh khalifah Tathimiyah Al-Hakim pada tahun 1009, sedangkan gereja merupakan tujuan dari beribu-ribu jamaah Eropa, perlakuan tidak wajar terhadap jamaah Kristen yang akan ke Palestina melalui Asia Kecil oleh penguasa Saljuk. Faktor lain, tahun1095 terulang permintaan bantuan kepada Pope Urban II, oleh Kaisar Bizantium, Alexius Commenus yang daerah-daerahnya di Asian sampai ke pantai Marmora telah dilakukan oleh bangsa Saljuk. Bahkan konstantinopel ikut terancam. Dengan permintaan ini, Paus melihat kemungkinan untuk mempersatukan kembali gereja Yunani dan Romawi yang terpecah, sekitar tahun 1009-1054.[3]
Di sebelah Timur dan Barat mengalami penghancuran oleh Hulago dan Spanyol Kristen, ummat Islam sebelah tengah mengalami serangan dari kefanatikan Kristen yang dikoordinir oleh Paus. Suatu serangan yang kemudian dikenal dengan perang salib, yang mempunyai tujuan untuk merebut kota suci Palestina, tempat tapak Tuhan berpijak, dari tangan kaum Muslimin. Terjadilah peristiwa yang sangat menyedihkan di Pantai Timur Laut Tengah, peristiwa yang merusak hubungan antara dunia Timur dan dunia Barat. Dengan menggunkan semboyan “Begitulah kehendak Tuhan” kaum Kristen Eropa menyerbu.
Penyerbuan yang berjalan selama dua abad lamanya memakan korban baik jiwa maupun harta dan kebudayaan yang tidak sedikit banyaknya. Dengan congkaknya Godfrey, kepada Negara Kristen yang menduduki Palestina, berkirim surat kepada Paus, diantaranya ia berkata “Sesungguhnya kuda kami mengarungi lautan darah dari orang-orang Timur sampai ke lutut tingginya”, di hadapan Haikal Sulaiman.[4]

B.            SEBAB-SEBAB PERANG SALIB
1.         Faktor Agama
Sejak Dinasti Saljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1070 M, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah ke sana karena penguasa Saljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Bahkan mereka yang pulang berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang Saljuk yang fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Saljuk sangat berbeda dari para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya.
2.         Faktor Politik
Kekalahan Bizantiaum sejak 330 disebut Konstantinopel (Istanbul) di Manzikart, wilayah Armenia, pada 1071 dan jatuhnya Asia kecil di bawah kekuasaan Saljuk telah mendorong kaisar Alexius I Comnenus (Kaisar Konstantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus II (1035-1099), yang menjadi Paus antara tahun 1088-1099 M, dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah pendudukan Dinasti Saljuk.
Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang melemah sehingga orang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang Salib. Ketika itu Dinasti Saljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan dan Dinasti Fathimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi yang demikian mendorong para penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu per satu daerah kekuasaan Islam, seperti Dinasti kecil di Edessa dan Baitul Maqdis.
3.         Faktor Sosial Ekonomi
Para pedagang besar yang berada di Pantai Timur laut Tengah, terutama yang berada di kota Venesia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk meguasai sejumlah kota dagang disepanjang Pantai Timur dan Selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur Eropa akan bersambung dengan rute perdagangan di Timur melalui jalur strategis tersebut.

C.           PERIODESASI PERANG SALIB
Perang salib terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut:
1.        Periode pertama
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 juni 1095 mereka berhasil menaklukan Nicea dan Tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai antiochea dan mendirikan kerajaan Latin II di Timur. Bohemod dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait Al-Maqdis (15 Juli 1099 M). dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait Al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M). Tripoli (1109 M), dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, rajanya Raymond.
Pada tahun 1127 M, muncul Imaduddin Zanki seorang pahlawan Islam termasyhur dari Mousul, yang dapat mengalahkan tentara Salib di Kota Aleppo Hamimah, dan Edessa. Kemenangan itu merupakan kemenangan pertama kali yang disusul dengan kemenangan selanjutnya sehingga tentara Salib merasakan pahitnya kekalahan demi kekalahan. Pada tahun 1046 M, Imaduddin Zanki wafat.
2.             Periode Kedua
Wafatnya Imaduddin Zanki, membangkitkan anaknya, Nuruddin Zanki untuk melanjutkan tugas sang ayah, meneruskan perjuangan membela agama, melakukan jihad. Nuruddin Zanki berhasil merebut kembali Antiochea pada 1149 M, pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Jatuhnya Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh Raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Codrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Akan tetapi, pasukan mereka dihadang oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Codrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Nuruddin wafat pada tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan Diansti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada 2 Oktober 1187 M. Dengan  demikian, kerajaan Latin yang didirikan tentara Salib di Yerusalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerusalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara Salib. Mereka menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Fedrick Barbarossa raja Jerman, Richard The Lion Hart raja Inggris, dan Philip Augustus Raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin akan tetapi mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibukota Kerajaan Latin, tetapi mereka tidak berhasil merebut Palestina. Pada tanggal 2 November 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh Ar-Ramlah. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.
Tidak lama kemudian, setelah perjanjian itu disepakati, Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi, pahlawan Perang Salib itu meninggal dunia pada Februari 1193 M.
3.             Periode Ketiga
Tentara salib pada periode ketiga ini dipimpin oleh raja Jerman, Federick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir terlebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan bantuan dari orang-orang Kristen Qibti. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki kota Dimyat. Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, Al-Malikul Kamil, membuat perjanjian dengan Federick. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1247 M, di masa pemerintahan Al-Malikush Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik pengganti Dinasti Ayyubiyah, pimpinan kaum muslimin dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1291. M.[5]
Dalam periode ini telah terukir dalam sejarah munculnya pahlawan wanita Islam yang trekenal gagah berani, yaitu Syajar Ad-Dur. Ia berhasil menghancurkan pasukan Raja Louis IX dari Perancis dan sekaligus menangkap raja tersebut.
Meskipun menderita kekalahan dalam Perang Salib, pihak Kristen Eropa telah mendapatkan hikmah yang tidak ternilai karena mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian maju. Bahkan, kebudayaan dan peradaban yang mereka peroleh dari Timur-Islam menyebabkan lahirnya renaisans di Barat. Mereka membawa kebudayaan dari Timur-Islam ke Barat terutama dalam bidang militer, seni, perindustrian, perdagangan, pertanian, astronomi, kesehatan, dan kepribadian.
Demikianlah perang salib yang terjadi di Timur. Perang ini tidak hanya berhenti di Barat, di Spanyol, sampai akhirnya umat Islam terusir dari Spanyol Eropa. Akan tetapi, meskipun demikian, mereka tidak dapat merebut apapun dari tangan kaum muslimin, dan tidak dapat menurunkan bendera Islam dari Palestina.
Walaupun umat Islam telah berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib, namun kerugian akibat perang itu sangat banyak. Kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik kaum muslimin menjadi melemah.

D.                D. HUBUNGAN PERANG SALIB DENGAN ISLAM
Bagaimana nasib kaum muslimin di daerah-daerah kekuasaan orang Turki ketika pasukan Turki meninggalkan mereka karena serbuan pasukan salib? Kondisi yang terjadi sangat menguntungkan pihak pasukan salib. Pada akhir abad kesebelas Bani Seljuk yang telah menguasai Siria maupun Palestina telah  berantakan, sementara negara-negara yang menggantikannya saling berperang satu sama lain. Dinasti Fatimiyah yang Syiah memang berhasil menahan serbuan pasukan Salib, sampai mereka kemudian berhasil mencapai Jerusalem, dan kaum Fatimiyah berhasil mencaplok tanah kaum penguasa muslim Suni. Khalifah Abasiyah di Bagdad sendiri tak lagi tertolong, sehingga tak bisa lagi diharapkan menjadi semacam Paus bagi kaum muslimin, yang mampu memegang komando atas kaum muslimin untuk melakukan jihad melawan pasukan salib. Di samping itu, tanah-tanah yang dirampas oleh pasukan salib selanjutnya didiami oleh penduduk Kristen dari berbagai sekte. Sebagian dari mereka tidak mempersoalkan perarturan agama Katolik. Penduduk lainnya lagi adalah orang Yahudi, penganut Druze, maupun golongan muslim lain. Pasukan salib tidak pernah menguasai kota-kota kaum muslimin yang pernah memegang peran penting dalam perekonomian maupun politik, seperti Aleppo, Damaskus, Mosul, Bagdad, maupun Kairo.[6]
Secara keseluruhan boleh dikatakan bahwa bagi dunia Islam di masa tahun 1100 Perang Salib pertama hanyalah separuh pertunjukan belaka. Tentu saja mngherankan, meski kaum muslimin terpaksa harus menunggu sebelum mereka mengusir  pasukan salib dari wilayah mereka. Salah satu alasannya adalah karena mereka, seperti bangsa Arab sekarang, telah terpecah menjadi negara-negara kecil  yang senantiasa bermusuhan. Sebagian lagi dari mereka bahkan telah bersekutu dengan pasukan salib melawan negara-negara seagama. Kaum Fatimiyah Mesir misalnya, sudah terbiasa berhubungan erat dengan pasukan salib, karena terikat hubungan dagang antara kota-kota pelabuhan Iskandiyah di Mesir dengan pelabuhan-pelabuhan Italia, seperti Venesia dan Genoa.
Awal titik balik kemudian terjadi pada tahun1144, ketika Gubernur Mosul, Zengi, menyatakan diri sebagai kerajaan lepas dari kekuasaan Bani Seljuk di Siria yang sedang sekarat. Siria merampas kabupaten Edessa dari pasukan salib. Perang salib kedua, yang dipimpin oleh Kaisar Romawi Suci dan Raja Perancis mencoba merebut Damaskus dan daerah pedalaman Siria, termasuk Edessa. Untuk sementara pasukan salib berada dalam posisi menyerang, meski kemudian posisi itu beralih ke tangan pasukan muslim. Dalam peristiwa itu, Zengi terbunuh oleh salah seorang budaknya. Segera setelah itu putranya, Nuruddin, tampil menjadi pemenang. Setelah itu dia berhasil mengendalikan seluruh Siria kecuali sepenggal kecil jalur pesisir Siria tetap berada di tangan pasukan salib.[7]

E.            DAMPAK PERANG SALIB BAGI UMAT ISLAM
Tentara Salib menyaksikan betapa maju dan makmurnya negeri Timur. Setelah penyerbuan selesai dan dalam waktu dua abad mereka hidup di daerah itu, mereka mulai menyesuaikan diri. Mereka melihat ketinggian kebudayaan Islam dalam segala aspek kehidupan dan mereka menirunya. Dari aspek makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga , musik, alat-alat pakaian, obat-obatan, ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, tanam-tanaman, pemerintahan dan lain-lain. Bahkan dalam pergaulan mereka memakai bahasa Arab dan ada pula yang kawin dengan penduduk asli. Yang tidak kalah pentingnya, banyak pula yang menjadi muslim.[8]
Ketika tentara Salib sedang berkuasa, setiap ada pasukan Salib yang pulang kembali ke Eropa selalu membawa apa saja yang mereka temui. Apakah itu berupa buku-buku ilmu pengetahuan, alat-alat kedokteran, kompas dan apa saja kemajuan ummat Islam. Dengan demikian maka perang Salib merupakan salah satu dari jembatan tempat mengalirnya kebudayaan Islam ke Eropa.[9]
Secara sederhana dampak Perang Salib bagi umat Islam dapat dijelaskan sebagaimana berikut:
1.      Perang salib yang berlangsung antara bangsa Timur dengan Barat menjadi penghubung bagi bangsa Eropa khususnya untuk mengenali dunia Islam secara lebih dekat lagi. Ini memiliki arti yang cukup penting dalam kontak peradaban antara bangsa Barat dengan peradaban Timur yang lebih maju dan terbuka. Kontak peradaban ini berdampak kepada pertukaran ide dan pemikiran kedua wilayah tersebut. Bangsa Barat melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan tata kehidupan di Timur dan hal ini menjadi daya dorong yang cukup kuat bagi bangsa Barat dalam pertumbuhan intelektual dan tata kehidupan bangsa Barat di Eropa. Interaksi ini sangat besar andilnya dalam gerakan renaissance di Eropa. Sehingga dapat dikatakan kemajuan Eropa adalah hasil transformasi peradaban dari Timur.
2.      Pra perang Salib masyarakat Eropa belum melakukan perdagangan ke Bangsa Timur, namun setelah perang Salib interaksi perdagangan pun dilakukan. Sehingga pembauran peradaban pun tidak dapat dihindarkan terlebih lagi setelah bangsa Barat mengenal tabiat serta kemajuan bangsa Timur. Perang Salib membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi bangsa Eropa. Kehidupan lama Bangsa Eropa yang berdasarkan mata uang yang cukup kuat. Dengan kata lain Perang Salib mempercepat proses transformasi perekonomian Eropa.
3.      Perang Salib sebagai sarana mengalirnya ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat. Pasca penyerbuan yang berlangsung lebih dari 2 abad, para tentara Barat mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan Bangsa Timur. Mereka melihat ketinggian peradaban dan budaya Islam dalam berbagai aspek kehidupan, yakni makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, musil, alat-alat perang, obat-obatan, ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, tanam-tanaman, sastra, ilmu militer, pertambangan, pemerintahan, pelayaran (navigasi) dan lain-lain. Tentara Salib (crusaders) membawa berbagai keilmuan ke negara mereka dengan kata lain terjadi transformasi budaya (culture) dan peradaban (civilization) dari timur ke Barat.
4.      Bangsa Barat melakukan penyelidikan terhadap seni dan budaya (art and culture) serta pengetahuan (knowledge) dan berbagai penemuan ilmiah yang ada di Timur. Hal ini meliputi sistem pertanian, sistem industri Timur yang sudah berkembang dan maju serta alat-alat teknologi yang dihasilkan Bangsa Timur seperti kompas kelautan, kincir angin dan lain-lain. Setelah kembali ke negerinya Bangsa Eropa menyadari betapa pentingnya memasarkan produk-produk Timur yang lebih maju, mereka mendirikan sistem-sistem pemasaran produk Timur. Maka semakin pesatlah perkembangan perdagangan antara Timur dengan Barat.
5.      Perang Salib yang meluluh-lantakkan infra dan suprastruktur terutama di negara-negara Timur berakibat tertanamnya rasa kebencian antara Timur dan Barat. Di benak Kristen Eropa diyakini sangat membenci warga negara Timur baik yang beragama Kristen, Yahudi terutama terhadap   muslim.  Tentunya hal ini jika tidak disikapi dengan bijaksana akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
6.      Pada awal kedatangan tentara Salib kondisi Umat Islam tidak bersatu, terbukti adanya tiga kerajaan besar yang bertikai yaitu: Dinasti Fatimiyah di Mesir, Daulah Abbasiyah di Baghdad yang dikendalikan orang-orang Saljuk dan Dinasti Muwahidun di Afrika, ditambah lagi dari tiga dinasti ini masing-masing internnya pun selalu bertikai, tentu hal ini memudahkan para tentara Salib menyerang Umat Islam yang tidak bersatu. Untuk itu hikmah yang perlu diambil adalah perlunya persatuan dan yang  yang dibangun dengan akidah benar berdasarkan Alquran.[10]


[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Distorsi Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 220
[3] Fadil Sj, Pasang Surut  Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (UIN-Malang Press:2008) hlm, 221
[4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 181
[5] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 241
[6] Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka CIpta, 2003), h. 100
[7] Ibid, h. 102
[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003) hlm, 234
[9] Ibid, h. 236

bagaimana postingan ini?

 

Sample text

Sample Text

5/Cars/feat-tab

Sample Text

 
Blogger Templates