FITRAH DAN IMPLIKASINYA DALAM TEORI
PERKEMBANGAN MANUSIA MENURUT AL-QUR'AN DAN AL HADIST
Ririn Erviana
Institut
Agama Islam Negeri Metro
E-mail: ririnerviana1@gmail.com
Abstrak
Fitrah
adalah sesuatu yang dibawa seseorang dari sejak lahir. Namun kenyataannya
fitrah tidak dapat disebut sebagai potensi. Oleh karena itu, untuk
menumbuhkannya memerlukan pembinaan dan bimbingan supaya potensinya terbentuk.
Potensi yang dimiliki seseorang terkadang pula berasal dari gen dan juga
pembinaan dan bimbingan. Pembahasan tentang fitrah dalam kehidupan modern saat
ini menjadi ranahnya psikologi dan pendidikan.Tujuan pembentukan fitrah supaya
terbentuk potensi ini ternyata sejalan dengan tujuan pendidikan Islam menurut
Al Qur’an dan Al Hadits. Tujuan itu dapat diwujudkan dengan upaya mengarahkan,
membimbing, dan membina anak untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi alamiah
bawaan sejak lahir, yaitu fitrah. Agar dapat diimplikasikan dengan
sebaik-baiknya sesuai pedoman Al Qur’an dan Al Hadits dan menjadi karakternya.
Kata kunci :
Fitrah, Pendidikan, Potensi, Karakter
Abstract
Fitrah is something a person from birth. But the reality of nature can not be termed as a potential. Therefore, to grow requires coaching and guidance for that potential to form. The potential of a person sometimes also come from a gene and also coaching and guidance. The purpose of establishing the nature of this potential turns in order to form consistent with the educational goals of Islam according to the Koran Alhadits. That goal can be realized with the efforts of directing, guiding and directing children separately develop the potential of the natural innate, ie nature. In order to be implied as well as possible within the guidelines of the Qur'an and Hadith.
Fitrah is something a person from birth. But the reality of nature can not be termed as a potential. Therefore, to grow requires coaching and guidance for that potential to form. The potential of a person sometimes also come from a gene and also coaching and guidance. The purpose of establishing the nature of this potential turns in order to form consistent with the educational goals of Islam according to the Koran Alhadits. That goal can be realized with the efforts of directing, guiding and directing children separately develop the potential of the natural innate, ie nature. In order to be implied as well as possible within the guidelines of the Qur'an and Hadith.
Keywords: Fitrah, Education,
Potential
A.
Pendahuluan
Pendidikan
adalah tempat mengembangkan potensi dan pembentukan karakter kepribadian
seseorang. Dengan upaya pembimbingan dan pengarahan melalui pendidikan maka
fitrah manusia yang dibawa sejak lahir akan diimplikasikan dalam kehidupannya.
Sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya dapat ditumbuh kembangkan
sesuai pedoman Al-Qur’an dan Al Hadits. Sejak dulu, sekarang, hingga masa yang
akan datang polemik pendidikan, akan tetap sama yakni bagaimana memberikan
pembinaan dan pembimbingan sesuai dengan potensi fitrah (bakat) peserta didik.
Meskipun pendidikan sudah dilakukan sejak dulu dengan cara yang begitu
sederhana dan jauh dari kata modern.
Sekolah
merupakan bagian utama dalam mengembangkan suatu karakter, sikap, kemampuan
serta keterampilan seorang individu. Dalam Sekolah terdapat aktivitas
pembelajaran yang sudah tersusun secara berurut dan terstruktur yang diputuskan
oleh pemerintah. Peserta didik diharapkan dapat berkembang dan berhasil dalam
aktivitas pembelajaran dengan cara mengembangkan apa yang menjadi potensi
dirinya.[1]
Sedangkan pendidikan Agama Islam atau pendidikan ke-Islaman adalah upaya
mendidikkan agama Islam atau ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan hidup) dan sikap
hidup seseorang.[2]
Upaya
untuk mengenalkan, menyadarkan, menghayati dan melakukan ajaran agama sebagai
panduan sikap dan perilaku dapat diwujudkan seutuhnya melalui proses Pendidikan
Agama di sekolah, di samping proses Pendidikan Agama yang berlangsung dalam
keluarga maupun di masyarakat. Walaupun materi atau Pendidkan Agama berbeda
sesuai dengan keyakinan masing-masing, tetapi penghayatan dan pemberlakuan
ajaran agama pada intinya bertujuan menyatukan agama yang berbeda. Dengan
demikian Pendidika Agama di sekolah
seharusnya tidak terfokus pada kepentingan teoritis dan dogmatis semata. Tetapi
memuat juga tantangan sosial sebagai pengalaman nyata yang nantinya akan
dialami peserta didik ketika berada di masyarakat. Pendidikan Agama di sekolah
bukan hanya mengajarkan norma dan nilai agama tetapi ada praktek membimbing
peserta didik bagaimana caranya memperoleh pengetahuan di masyarakat
danmengembangkan secara tepat pengetahuan yang diperoleh tersebut menjadi
pandangan hidup yang bermoral dan tidak menyimpang dari ajaran agama yang
sebenarnya.[3]
Dalam
Islam, ilmu adalah pengetahuan dari pikiran yang didapat dengan sungguh-sungguh
dari para ilmuwan muslim yang mengkaji masalah dunia maupun masalah akhirat dengan
pedoman kepada wahyu Allah.[4]
Al-Qur’an selalu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga tidak
ada dogma seperti zaman sebelum renaissance,
yakni para ilmuwan yang mengungkapkan pemikirannya bisa jadi dijatuhi hukuman,
karena dianggap bertentangan dengan teori yang sudah berkembang dan mendarah
daging dalam diri masyarakat.
Oleh
karenanya, dalam membangun dan menumbuh kembangkan potensi yang ada pada
manusia Al-Qur’an dan Al Hadits juga telah menyingkapnya. Sehingga semua itu
dapat sejalan dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan kemudian
berimplikasi pada kehidupan seseorang.
B.
Metode
Penelitian
Jenis
penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian kepustakaan
dengan mengkaji teks buku dan naskah jurnal, baik jurnal nasional maupun
jurnal-jurnal lain yang memiliki kecocokan dengan permasalahan dalam topik
penelitian ini. Dengan menggunakan literatur dalam bentuk buku maupun online.
Yang mengutip pendapat-pendapat sebagai pertanggungjawaban ilmiah.
C.
Fitrah
Manusia
Manusia
diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna dari makhluk
lainnya. Allah telah menspesialkan satu makhluknya yakni manusia yang
diciptakan dengan sebaik-baiknya. Struktur manusia sangat berbeda dibandingkan
makhluk Allah yang lain. Manusia memiliki jasad, ruh, akal, dan hati. Di dalam
ruhnya Allah memberikan kepada manusia seperangkat kemampuan dasar yang
dibawanya sejak lahir yaitu fitrah atau potensi. Fitrah atau potensi adalah
kemampuan seseorang yang dibawanya sejak lahir sehingga dapat berkembang secara
otomatis melalui proses pendidikan dan pembinaan.
Manusia
diciptakan oleh Allah swt melalui fase-fase perkembangan, dimana dalam proses
perkembangan tersebut mengalami interaksi (saling mempengaruhi) antara
kemampuan dasar (pembawaan) dengan kemampuan yang diperoleh dari hasil
pendidikan serta pengaruh lingkungannya.[5]
Kemudian, Muhaimin
menyebutkan setidaknya ada beberapa macam fitrah manusia, yaitu:[6]
1. Fitrah
beragama; fitrah ini merupakan potensi bawaan yang memberikan kemampuan kepada
manusia untuk tunduk, taat melaksanaan perintah Tuhan sebagai pencipta,
penguasa dan pemelihara alam semesta.
2. Fitrah
berakal budi; fitrah ini adalah potensi yang dimiliki manusia untuk selalu
berpikir sambil mengingat Allah yang terlihat dari keserasian, keseimbangan dan
kehebatan di alam semesta.
3. Fitrah
bermoral dan berakhlaq, fitrah ini adalah potensi yang dimiliki oleh manusia
untuk melaksanakan dengan penuh komitmen nilai-nilai moral dan akhlak dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Fitrah
kebersihan dan kesucian; fitrah ini memberikan potensi kepada manusia untuk
mencintai kebersihan dan kesucian.
5. Fitrah
kebenaran; fitrah ini merupakan kecenderungan manusia untuk selalu mencari
kebenaran.
6. Fitrah
kemerdekaan; fitrah ini memberikan kecenderungan kepada manusia untuk mempunyai
kebebasan dan kemerdekaan tidak terbeenggu dan diperbudak oleh orang lain
kecuali berdasarkan kemauan sendiri.
7. Fitrah
keadilan; fitrah ini mendorong manusia untuk mencari keadilan di muka bumi ini.
8. Fitrah
persamaan dan persatuan; fitrah ini merupakan potensi manusia untuk
mempersamakan hak dan perlakuan dan menentang diskriminasi berdasarkan ras,
suku, bahasa, warna kulit serta berusaha menjalin persatuan dan kesatuan antara
sesamanya.
9. Fitrah
sosial; fitrah ini mendorong manusia untuk melakukan hubungan dengan manusia
sekitarnya, dalam bentuk saling bekerja sama, bergotong royong dan saling
membantu.
10. Fitrah
individu; fitrah ini mendorong manusia untuk melakukan tindakan dengan penuh
tanggung jawab, menyelesaikan persoalannya dengan kemandirian, menjaga harga
diri dan kehormatannya dan mempertahankan keselamatan diri dan keluarganya.
11. Fitrah
seksual; fitrah ini memberikan dorongan kepada manusia untuk berhubungan dengan
lain jenis, membentuk keluarga dan menghasilkan keturunan. Kepada keturunannya
itulah, manusia menurunkan dan mewariskan nilai-nilai yang diyakininya benar.
12. Fitrah
ekonomi; fitrah ini mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui
aktivitas ekonomi.
13. Fitrah
politik; fitrah ini memberikan dorongan kepada manusia untuk memiliki dan
menyusun kekuasaan dan melindungi kehidupan dan kesejahteraan bersama.
14. Fitrah
seni; adalah kecenderungan manusia untuk mencintai seni dan mengembangkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif
psikologis, fitrah manusia sebagai potensi dasar, menurut Ibnu Taimiyah, fitrah
dibagi dalam tida macam daya, ketiga daya tersebut sebagaimana dikutip Juhaja
S.Praja adalah:[7]
1. Daya
intelektual (quwwah al-aql), yaitu
potensi dasar yang memberikan kemampuan pada manusia untuk membedakan sesuatu
itu aik atau buruk. Dengan daya intelektualnya manusia dapat mengetahui dan
mempercayai ke-Esa-an Allah.
2. Daya
ofensif (quwwah al-syahwah) yaitu
potensi dasar yang dimiliki manusia untuk mampu menerima objek-objek yang menguntungkan dan bermanfaat
bagi kehidupannya, baik jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3. Daya
defensive (quwwah al-ghadlb) yaitu potensi dasar manusia untuk mampu
menghindarkan diri dari objek-objek dan keadaan yang membahayakan dan merugikan
dirinya.
Menurut
Hamka, pendidikan adalah serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk
membantu membentuk watak, budi pekerti, akhlak dan kepribadian peserta didik.
Berdasarkan hal ini, maka pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu kepada
peserta didik, tetapi juga membantu peserta didik agar mampu mengembangkan
seluruh potensi yang dibawanya secara maksimal. Pendapat ini sejalan dengan pendapat
dari sejumlah pakar pada umumnya. Achmadi sebagai misal mengatakan, pendidikan
Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia
serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia
seutuhnya sesuai dengan norma Islam (Hamka, 1999: 28-29).[8]
Berdasarkan
literatur di atas, dapat diketahui bahwa manusia adalah makhluk pedagogik,
yaitu manusia yang membawa potensi dasar sejak lahir dan potensi tersebut dapat
ditumbuhkembangkan melalui pembinaan dan pendidikan.
D.
Konsep
Fitrah Dalam Perspektif Alquran dan Al Hadis
Secara etimologi, kata fitrah juga bisa
berarti suci, yang berarti manusia itu dilahirkan dalam kesucian, bersih tanpa
memiliki dosa dan kesalahan. Fitrah juga bisa berarti suci dan murni. Suci
berarti bahwa manusia itu bersih, suci jasmani dan rohani dari segala dosa
warisan atau dosa awal, seperti halnya yang dianut kaum Nasrani. Sebagaimana
dikatakan oleh Islami Raji Al-Faruqi bahwa manusia diciptakan dalam keadaan
suci, bersih dan dapat menyusun drama kehidupannya, tak peduli dilingkungan,
masyarakat, keluarga macam apapun ia dilahirkan, Islam tanggung jawab
penembusan, serta keterlibatannya dalam kesukuan nasioanl ataupun
internasional.[9]
Sehingga kesucian dan seperangkat kemampuan dasar atau
potensi yang masih bersih tersebut kemudian disebut dengan fitrah. Dalam sebuah
hadis Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua ayah dan
ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R Bukhari dan
Muslim).
Hadits di atas memberikan suatu gambaran
bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hal ini berarti, secara
fisik, manusia dilahirkan dalam keadaan sama-sama lemah, namun bukan berarti ia
bagaikan kertas putih atau kosong seperti yang dikatakan John Lock atau tak
berdaya seperti pandangan Jabariyah, karena ia memiliki potensi yang berupa
kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menyangkut daya nalar, mental, maupun
psikisnya yang berbeda-beda jenis dan tingkatannya.[10]
Hal ini bersesuaian dengan hadits lain yang menyebutkan bahwa setiap anak
dilahirkan telah beragama; “. . .setiap
manusia dilahirkan dalam keadaan telah memeluk suatu agama, kedua orang
tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Musyrik. . .
Hadits ini juga mengandung arti bahwa
fitrah adalah pembawaan yang dibawa manusia sejak lahir. Sedangkan bapak dan
ibu dalam hadits tersebut adalah lingkungan, baik lingkungan sosial maupun
lingkungan keluarga. Kedua faktor itulah yang menentukan perkembangan manusia.[11]
Jadi proses pertumbuhan dan perkembangan
potensi manusia sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang berada disekitarnya.
Seperti perumpamaan “Janganlah engkau bercermin di air keruh, karena engkau tak
mungkin dapat melihat wajahmu, begitu pula dengan berteman dan bergaul, lambat
laun seorang individu akan menyerupai teman-teman yang sering ditemuinya.
Anak adalah tanggung jawab dan amanah
orang tua. Pendidikan dini yang diberikan orang tua kepada anak berpengaruh
pada pola pikir dan perilaku anak sehingga hasilnya membekas sampai anak tumbuh
menjadi dewasa. Pendidikan akan mengantarkan kefitrahan anak yang menjadi
landasan proses dan acuan dalam perencanaan, karena pendidikan harus selaras
dengannya sehingga kemudian tidak terjadi kontradiksi. Dalam konteks
pendidikan, kata “fitrah” seperti yang disebut di atas sering identik dengan
teori tabula rasa yang mengatakan kenetralan modal dasar diarahkan pada proses.
Sementara dalam pandangan Islam, kenetralan tersebut sebagai fitrah, dengan
arti bahwa ia telah terisi dan terwarnai potensi kesucian. Tetapi bukan berarti
tidak berwarna sehingga tergantung pada pewarnanya. Maka orang tualah yang
paling berperan dalam memberikan “warna” bagi anak-nya.[12]
Dalam kamus besar bahasa Arab
al-munjid fitrah adalah penciptaan sifat yang mensifati semua yang hidup disaat
penciptaan. AL-Qurthubi dalam tafsirnya memaknai fitrah yang terdapat dalam
surat ar-Rum ayat 30 sebagai agama. Bagian mufasirin menafsirkannya dengan tauhidullah sedangkan sebagian ahli
fiqih memaknai fitrah sebagai kejadian sehingga dengan kejadian ini Allah
menjadikan manusia mengetahui Tuhannya apabila telah berakal.[13]
Sedangkan Fadhil al-Jamaly menyatakan fitrah ialah kemampuan dasar dan
kecenderungan tersebut lahir dalam bentuk yang sangat sederhama dan sangat
terbatad kemudian saling mempengaruji dalam lingkungan sehingga tumbuh dan
berkembang menjadi lebih baik atau sebaliknya.[14]
Fitrah akar katanya adalah “fatara” yang berarti cipta (penciptaan
dan menciptakan, fitrah (masdar)
bermakna ciptaan atau sifat dasar yang telah ada apa saat diciptakannya. Dalam
Al-Qur’an terdapat kata fitrah sebanya 19 ayat pada 17 surat dengan segala
bentuk kata jadinya.
Dalam Alquran kata Fitrah salah satunya disebutkan dalam
Surah Ar-Ruum ayat 30 seperti di bawah ini:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (Q.S Ar-Ruum [30]: 30)
Fitrah Allah yang dimaksud di sini adalah
ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama
tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar.
mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Menurut Al-Ghazali fitrah adalah
sifat dasar manusia yang dibekali sejak lahir dengan memiliki
keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:[15]
Pertama, beriman
kepada Allah. Ini dipertegas dalam ayat Al-Qur’an, surat Ar-Ruum ayat 30,
seperti yang telah ditulis di atas. Dengan ayat tersebut Al-Ghazali
menginterpretasikan bahwa setiap manusia diciptakan atas dasar tauhid (keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa),fitrah berarti beriman kepada Allah. Fitrah ini
diciptakan Allah pada diri manusia karena dianggap sesuai dengan tabiat dasar
manusia, yang bertendensi kepada agama tauhid. Al-Ghazali mempertegas dalam
kitabnya “Mizanul Amal”: “Katakanlah
bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, sesungguhnya manusia itu
tentu mempercayai adanya Tuhan, hanya saj mereka keliru dalam kenyataan dan
dalam sifatnya”.
Kedua, kemampuan
dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keburukan atau dasar kemampuan untuk
menerima pendidikan dan pengajaran. Pendapat ini berlandaskan pada hadist: “Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah, hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi atau Nasrani ataupun
Majusi.
Ketiga, dorongan
ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berpikir.
Setiap manusia diciptakan dengan membawa dorongan rasa keingintahuannya
terhadap sesuatu, namun apakan keingintahuan itu digunakan dengan benar atau
tidak adalah tergantung dari kebiasaan, pelatihan dan lingkungannya. Dalam
Mizanul Amala Al-Ghazali menuliskan: “Adapun keistimewaan manusia yang karenya
ia diciptakan Allah adalah memiliki akal dan kekuatan menemukan hakekat perkara”.
Akal yang dalam bahasa biologis
disebut dengan otak ini merupakan organ yang sangat penting bagi manusia. Sebab
di dalam otaklah seluruh kinerja tubuh dikontrol, karena setiap gerak-gerik
manusia selalu mendapat sensor otomatis dari otak, sehingga menghasilkan
tindakan. Sesuai dengan yang Abdul Wahab, (2004:63-64) yang dikutip Askar bahwa
otak adalah suatu alat tubuh yang sangat penting. Otaklah yang
menentukan mahluk hidup bergerak, memerintahkan indra, mengatur pola informasi
dan komunikasi, untuk membuat keputusan. Otak inilah yang bertugas mengarahkan
dan mengkordinasikan kerja sel-sel saraf sedemikian rupa sehingga mampu
mendengar, melihat, berpikir, mengingat, dan bertindak secara tepat.
Keseluruhan proses yang mengorganisasi tingkah laku tersebut berpusat pada
sistem saraf yang rumit (Shaleh dan Abdul Wahab, 2004: 63-64).[16]
Otak
memiliki tiga bagian. Pertama, batang otak, berfungsi mengatur fisik manusia
untuk bertahan hidup, mengelola gerak refleks, mengendali-kan gerak motorik,
memantau fungsi tubuh, dan memproses informasi yang masuk dari pancaindera.
Kedua, otak bagian tengah, atau otak limbid/ mamalia, tugasnya mengatur fungsi
memori, hormon emosi dan sebagai-nya. Ketiga, otak bagian atas/neokorteks atau
otak berfikir, yang digunakan saat berfikir atau belajar. Disini letak
kecerdasan otak kiri dan otak kanan. Otak mamalia/otak bagian tengah, fungsinya
seperti saklar yang ada fungsi on dan dan off. Untuk mengarahkan emosi yang
masuk diteruskan ke bagian atas atau bawah otak. Bila yang masuk emosi positif,
otak akan meneruskan ke bagian bagian paling atas/otak befikir, sehingga anda
bisa berfikir dengan baik. Sementara jika emosi yang masuk negatif, akan
diteruskan ke bawah, yang tidak dirancang untuk berfikir.11Agar otak ber-pengaruh
positif terhadap perkembangan yang lain, anak harus dirangsang dengan
pendidikan yang baik dan lingkungan yang kondusif. Jika anak dimarahi untuk
memintanya belajar, itu akan memasukkan emosi negatif yang tidak mengaktifkan
otak fikirnya sehingga perkembangan kogni-tif anak terhambat.[17]
Kecerdasan rasional-logis atau IQ (Intelligence
Quotient), berpusat pada otak kiri, kecerdasan emosional, EQ (Emotional
Quotient) berpusat pada otak kanan, dan kecerdasan spiritual (Spiritual
Qoutient), bepusat pada jaringan sel saraf otak antar keduanya, yakni pada lobus
temporal. IQ terletak pada dimensi fisik. EQ terletak pada
dimensi emosional. SQ, terletak pada dimensi spiritual. IQ Berada
pada dimensi Islam, EQ terletak pada dimensi iman, dan SQ terletak
pada dimensi ihsan. Dengan kata lain, IQ dibimbing oleh Islam, SQ dibimbing
oleh iman dan SQ dibimbing ihsan (Agustian, 2001: 46-47). Jika ketiga
fungsi otak berfungsi dengan baik, maka akan melahirkan manusia yang paripurna
atau insan kamil.[18]
Dalam perspektif teologis, pendidikan
Islam harus didasari dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al Hadits yang berintikan
tauhid. Tauhid dalam posisi ini menempati inti yang bersifat fundamental dan
merupakan nilai dasar pendidikan Islam.[19]
Seperangkat keemampuan dasar yang
dianugerahkan Allah kepada manusia telah dijelaskan di dalam Al-quran Surah
An-Nahl berikut ini:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S An-Nahl [16]:78)
Maka dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa
Allah menganugerahi seperangkat alat yang dapat digunakan manusia untuk
mengambangkan potensinya. Dengan keseimbangan, pendengaran, penglihatan dan
hati niscaya, insan kamil akan mengiringi tujuan pendidikan Islam. Ilmu
pengetahuan yang dulu pernah dimiliki dan dikuasai umat Islam namun telah raib
karena kelalaian dapat menjadi perisai Islam lagi.
Dengan seperangkat fitrah yang
dianugerahkan Allah swt kepada manusia, maka manusia memiliki wadah yang dapat
diisi dengan, kemampuan, keterampilan dan kreativitas yang dapat dikembangkan
melalui pendidikan dan pembinaan. Manusia diberi akal oleh Allah swt yang
membedakannya dengan makhluk yang lain, sehingga dengan itu manusia dapat
berpikir. Dari berpikir, merasa bertindak kemudian manusia dapat terus
berkembang. Sehingga potensi yang dibawanya sejak lahir benar-benar terbina
secara maksimal.
Pendidikan menurut Al-Qur’an adalah usaha
yang dilakukan secara terencana dan bertahap untuk memberikan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap kepada peserta didik sebagai bekal dalam melaksanakan
tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.[20]
Pendidikan sebagai suatu proses pengembangan fitrah manusia merupakan salah
satu dari cabaang ilmu. Sehingga manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang
dapat dibina dan membina. Dengan ilmu yang dimiliki manusia dapat membina
individu yang lain begitu seterusnya.
Ilmu adalah rangkaian dalam penelitian,
ilmu merupakan metode, ilmu juga disebut pengetahuan ilmiah, ilmu pada dasarnya
tidak tampak, tetapi akan menjadi nyata jika dijelaskan secara sistematis
semisal di buku pelajaran-pelajaran, majalah-majalah kejuruan, ucapan yang
dilontarkan para ilmuwan di atas mimbar ilmiah.[21]
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan, manusia harus menempuh proses pendidikan,
sehingga potensi dalam fitrahnya dapat terbina, terbentuk, dan tereksplor dengan
maksimal. Membina potensi yang dibawa seorang individu sejak lahir dengan
maksimal bukanlah hal yang mudah. Pembinaan tersebut membutuhkan peran-peran
dari berbagai pihak, kemaksimalan dari setiap pihak dan tentunya waktu yang
tidak relative singkat.
Pendidikan menjadi sebuah orientasi yang
utama bagi setiap bangsa dalam mengentaskan masyarakatnya dari keterbelakangan
dalam setiap aspek kehidupan. Sehingga menumbuhkan berbagai inovasi dalam
berbagai bidang pendidikan juga merupakan hal yang sangat dibutuhkan.[22]
Sebagai makhluk yang hidup dimuka bumi sebagai khalifah, manusia selalu
menginginkan kesejahteraan bersama orang-orang sekitarnya. Kesejahteraan
tersebut akan tercapai dengan kemaksimalan fungsi fitrah manusia yang
sebelumnya telah dibina. Maka dalam hal ini manusia selalu ingin melakukan
pendidikan dalam setiap rangkaian hidupnya, supaya mendapat kesejahteraan.
Pada dasarnya, menurut
tabiat dan bentuk kejadiannya, mansia diberi bekal kebaikan dan keburukan,
serta petunjuk dan kesesatan. Ia mampu membedakan antara kebaikan dan
keburukan. Kemampuan ini secara potensial telah ada pada diri manusia. Melalui
bimbingan-bimbingan dan berbagai faktor lain, bekal tersebut dibangkitkan dan
dibentuk. Ia adalah ciptaan yang fitri, makhluk yang tabi’i dan misteri yang diilhamkan.[23]
Setelah melalui berbagai bimbingan-bimbingan petunjuk kesesatan yang ada pada
diri manusia sejak lahir akan berfungsi secara maksimal. Manusia akan berusaha
menjadi insan kamil, begitu pula dengan tujuan menurut pendidikan Islam yaitu
terwujudnya insan kamil. Dengan perumusan tujuan pendidikan tersebut pula,
manusia meyakini adanya kehidupan setelaah kematian, sehingga di dunia ini ia
berusaha bertindk sebaik mungkin agar dapat sejahtera di akhirat kela. Ini
merupakan bagian dari potensi beragama dan keyakinan manusia.
Dengan demikian tujuan
pendidikan menurut Al-Qur’an adalah membina manusia sehingga mampu menjalankan
fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai
dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah atau dengan kata lain menjadikan
manusia bertakwa kepada Allah swt.[24]
Selain potensi
beragama, manusia juga memiliki potensi-potensi lain yang sangat beragam dan
berbeda-beda tingkatannya. Ia juga mempengaruhi perkembangan fisik, psikis, dan
fitrah keagamaannya. Hal ini karena, jika ditilik dari struktur penciptaannya,
manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani atau raga dan rohani atau jiwa.
Masing-masing memiliki potensi/ daya.[25]
Jasmani mempunyai kempuan dalam bentuk indrawi yang terdiri dari lima unsur
yaitu; mendengar, melihat, merasa,meraba, mencium dan kekuatan untuk
menggerakkan tubuhnya. Potensi dasar manusia yang berbentuk indrawi ini, dapat
di bina secara keseluruhan. Misalnya ketika, sejak bayi manusia diperdengarkan
dengan lantunan ayat-ayat sucu Al-Qur’an maka niscaya saat besar manusia
tersebut akan mencintai lantunan Al-Qur’an. Begitu pula denga melihat, ketika
manusia sering diperlihatkan dengan kejadian kekerasan yang terjadi
dilingkungan atau keluarganya, maka dia pun akan tumbuh menjadi manusia yang
kasar pula. Sehingga dapat diketahui bahwa indrawi manusia dapat dididik dan
dibina seluruhnya.
Sedangkan di dalam Al-Qur’an
jiwa sering disebutkan dengan kata al-nafs.
Jiwa atau al-nafs ini memiliki dua kemampuan, antara lain: kemampuan
berpikir atau akal yang terdapat di kepala manusia dan kemampuan rasa yang
berpusat di dalam fuad atau hati. Potensi tersebut juga bisa ditemui pada
makhluk Allah yang lain misalnya, hewan. Hewan memiliki insting yang fungsinya
hampir sama seperti akal pada manusia, namun kempuan insting hewan tidak bisa
melebihi kemampuan akal manusia. Hewan juga memiliki rasa dan nafsu seperti
manusia, seperti rasa menyukai, mencintai, dan menyayangi. Di dalam raga hewan
juga memiliki kemmpuan raga seperti yang dimiliki manusia, misalnya ketika
lahir hewan sudah memiliki kemampuan menyusu kepada induknya, berlindung kepada
induknya, dan hasrat untuk makan dan mencari makan.
Faktanya, naluri yang
dimiliki hewan lebih kuat dari yang dimiliki manusia. Sebaliknya, pada sisi
lain, apa yang dimiliki manusia tidak dimiliki hewan. Hal ini bisa dimaklumi
karena jika dilihat dari material penciptaannya, keduanya berasal dari sesuatu
yang berbeda. Hewan diciptakan dari air, sedangkan manusia diciptakan dari
unsur tanan. Merujuk pada Al-quran, unsur tanah bisa dimaknai sebagai saripati
lempung (sulaalah Min Thin), atau lempung yang pekat (Thin Laazib), atau mungkin juga tanah
gemuk atau shoil (Turab), atau
seperti tembikar (Sholshol kal Fakhkhor),
dan dijelaskan pula pada ayat yang lain sebagai lumpur yang dicetak (Sholshol Min Hamain Masnun).[26]
Manusia
berjalan dengan kedua kakinya adalah fitrah jasadi (jasmani)nya, kemampuan
manusia merumuskan masalah dan mengambil kesimpulan adalah fitrah akliah
(akal)nya, kemampuan manusia menerima ilham, dan memanfaatkan bashirah adalah fitrah ruhiyah-nya.
Pembelajaran berbasis fitrah bertumpu pada Fitrah Ruhiyah peserta didik, dimana
bashirah-nya akan mengendalikan akal
pikirannya.[27]
Seperangkat
alat yang menjadi fitrah manusia memiliki potensi untuk dibina dan didik.
Sehingga potensi itu dapat diimplementasikan dalam setiap perkembangan manusia.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan teknologi, tidak menjadi sebuah
penghalang tumbuh kembang fitrah pada diri seseorang. Justru akan semakin
memfasilitasi proses pembentukan fitrah menjadi potensi yang maksimal. Meskipun
itu bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti sebuah keniscayaan.
Fazlur
Rahman mengemukakan, bahwa Al-Qur’an tidak mengandung doktrin dualism radikal
antara jiwa dan raga. Tidak ada sebuah keterangan di dalam Al-Qur’an yang
menyatakan bahwa manusia terdiri dari
substansi yang berbeda, apalagi yang bertentang, yaitu jiwa dan raga.[28]
Al-Qur’an
juga membuktikan bahwa kemampuan dasar dan potensi manusia saling bekerja sama
dengan baik. Jika segala perangkat yang dianugerahkan Allah kepada manusia
bekeja secara baik dan berkesinambungan maka akan melahirkan manusia yang tidak
putus asa, dan mampu menemukan makna dibalik peristiwa yang sedang terjadi, dan
berujung pada ketundukan manusia terhadap Tuhannya.
E.
Implikasi
Fitrah dalam Teori Perkembangan Manusia
Fitrah
dalam bentuk potensi hanya dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk secara
efektif melalui strategi pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu,
dikelola secara serasi dan seimbang dengan memperhatikan pengembangan potensi
peserta didik secara utuh dan optimal. Oleh karena itu, strategi manajemen
pendidikan perlu secara khusus memperhatikan pengembangan potensi peserta didik
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (unggul), yaitu dengan cara
penyelenggaraan program pembelajaran yang mampu mengembangkan
keunggulan-keunggualan tersebut, baik dalam hal potensi intelektual maupun
bakat khusus yang bersifat keterampilan. (giftd
and talented).[29]
Peran serta pendidikan dalam pembentukan potensi fitrah manusia menduduki
posisi yang penting. Kepribadian dan karakter seorang individu akan terbentuk
dengan baik jika ditumbuhkembangan dengan komponen-komponen yang lengkap dan
baik pula. Usaha dalam mendidik bukan semata-mata pencarian gelar atau derajat
yang tinggi dalam pandangan orang lain, melainkan lebih dari itu yakni
penanaman nilai-nilai moral dan etika.
Pendidikan
Islam sebenarnya memiliki cakupan yang cukup luas, seperti yang dikemukakan
Zarkowi Seojati (1986), pendidikan Islam didefinisikan dalam tiga pengertian.
Pertama, pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan
penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk
mengejewantahkan nilai-nilai Islam. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan
perhatian yang sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk
program studi yang diselenggarakan. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup
kedua pengertian tersebut di atas.[30]
Dalam pendidikan Islam nilai-nilai etika dan moral yang ditanam sesuai dengan
pedoman Al-Qur’an dan Al hadis, sebab keduanya adalah sumber utama ajaran
Islam. Segala ketetapan dan langkah dalam mendidik manusia menjadi insan kamil
dengan proses menumbuhkembangkan potensi yang ada, sudah terpapar jelas di
dalamnya.
Manusia
terlahir mempunyai rasa ingin tahu dan imajinasi merupakan modal awal untuk
bersikap peka terhadap rangsangan, kritis, mandiri, kreatif dan inovatif serta
fitrah bertuhan yang merupakan cikal bakal manusia untuk meyakini dan bertakwa
kepada Tuhannya. Dengan pemahaman ini kegiatan pembelajaran perlu mengembangkan
dan memerhatikan rasa ingin tahu dan iamjinasi siswa serta diarahkan pada
pengesahan rasa keagamaan sesuai dengan
tingkatan usia siswa. Seperangkat kemampuan yang diberikan Allah akan selalu
memberikan dampak progresif jika diberi stimulus yang positif pula dari dunia
luar. Stimulus itu akan berpengaruh besar dalam pembentukan karakter dan
kepribadian seorang individu.
Implikasi
dalam dunia pendidikan dari keyakinan demikian adalah bahwa dalam proses
pendidikan, seorang guru atau pendidik harus dapat mendidik, membimbing anak
didiknya dengan kasih sayang. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Ghazali bahwa guru
berfungsi sebagai penuntun dan pembimbing bagi anak didik. Dalam menjalankan
tugasnya itu, al-Ghazali menganjurkan agar guru mengajar, membimbing dengan penuh
kasih sayang sebagaimana ia mengajar dan mendidik anaknya sendiri. “Didiklah
muridmu dan perlakukanlah mereka seperti anakmu sendiri”, pesan al-Ghazali
kepada para guru. Bahkan al-Ghazali mengutip Sabda Rasulullah; “Sesungguhnya
aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya” (HR. Abu Dawud, al-Nasa’I,
Ibn majah, Ibn Hibban dan Abu Hurairah).[31]
Maka istilah “Guru adalah orang tua di sekolah” yang selama ini selalu kita
dengar bukan berarti orang tua yang dapat mencukupi kebutuhan anak secara
finansial, namun diartikan orangtua yang mengarahkan anaknya untuk membentuk
dan menumbuhkembangkan potensi yang ada di dalam diri secara optimal.
Interaksi
pendidik dengan anak didik dalam upaya membentuk karakternya dilandasi
kepercayaan dan cinta kasih. Setiap pendidik memiliki keingingan untuk
membentuk kepribadian peserta didiknya agar dapay hidup sukses dikemudian hari.
Tentunya sukses dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu pendidik biasanya memiliki
pola asuh tertentu dalam mendidik anak-anak didiknya agar tumbuh menjadi
individu yang mereka cita-citakan. Setiap pendidik berlomba-lomba menjadi guru
yang banyak disenangi siswa-siswa mereka. Cara mendidik dan membimbing seorang
pendidik biasanya mengikuti kebaiasaan-kebiasan yang mereka lakukan di rumah
masing-masing. Kebanyakan dari pendidik juga mengasuh peserta didik mereka
hanya berangkat dari pengalamannya dalam mendidik anaknya sendiri di rumah.
Oleh karena itu, maka seorang pendidika diharapkan dapat memahami dan memilih
metodeserta strategi yang relevan untuk digunakan dalam proses pemelajarannya sehingga
potensi dasarnya dapat berkembang secara progresif dan optimal.
Dalam
kajian kontemporer, (Goleman, 1997: 44) mengungkapkan kecerdasan manusia tidak
lagi hanya bertumpu pada aspek kecerdasan intelektual atau IQ (intelligence quotient). Manusia ternyata
juga memiliki kecerdasan kecerdasa lain selain IQ, yakni EQ (emotional quotient) dan SQ (Spiritual quotient). Anggapan yang
selama ini berkembang ialah jika seseorang memiliki IQ yang tinggi maka ia akan
meraih sukses dalam hidupnya, mulai disangsikan dengan munculnya berbagai
temuan ilmiah. Temuan mutakhir menunjukkan bahwa ternyata IQ
setinggi-tingginya, hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor
yang menentukan sukses dalam hidup, sedangkan 80 persen ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan lain, seperti kelas sosial hingga nasib baik, dan doa.[32]
Pengembangan potensi yang dituntut dalam diri seorang individu tidak hanya
dititik beratkan pada kecerdasan akal saja. Barangkali kecerdasan akal memang
potensi yang paling terlihat dan paling mudah diukur. Namun di sisi lain, masih
ada kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang tidak kalah pentingnya
untuk ditumbuhkembangkan dalam rangka membentuk insan kamil.
Corey
(2000) selanjutnya mengemukakan bahwa spiritual berperan secara integral dan
esensial dalam perkembangan kepribadian individu, telah meraih momen tempat dan
kebangkitannya saat ini sehingga hal ini mengalami peningkatan kepedulian
terhadap spiritual klien pada abad
XXI ini.[33]
Jadi kecerdasan spiritual memiliki peran dasar dan menyeluruh dalam proses
pengembangan potensi dalam diri individu. Sebagaimana sabda Rasulullah bahwa
manusia dilahirkan dalam keadaan sudah beragama, itu artinya spiritualitas
adalah dasar karakter seorang individu.
Membentuk
karakter individu sesuai dengan potensi fitrahnya memang bukan sesuatu yang
mudah, selain membutuhkan dukungan dari berbagai pihak disekitar individu,
waktu yang dibutuhkan juga relative lama dan bertahap. Peran orang-orang
disekeliling individu adalah yang sangat berpengaruh, sebab seseorang akan
menyerupai orang-orang yang sering dijumpainya.
Cooper
dan Sawaf mengatakan pengurus oganisasi seperti pelaksana pendidikan mestinya
memperlihatkan semua atribut kepemimpinan, sikap moral, dan karakter yang mesti
diketahui oleh para bawahan, seperti kejujuran, vitalitas, kepercayaan, naluri,
daya cipta, keuletan, tujuan, komitmen, pengaruh, motivasi, kepekaan, empati,
humor, keberanian, kesadaran dan kerendahan hati.[34]
Jadi tidak hanya pendidik saja yang memberikan keteladan atau yang
keteladanannya berpengaruh pada perkembangan potensi seorang anak, para
penduduk instansi pendidikan yang juga kontak langsung dengan para anak didik
juga memiliki peran dan pengaruh dalam tumbuhkembangnya potensi seorang
indovidu.
Menurut
Benet (2003) keluarga merupakan tempat tempat pertama dan utama bagi
pertumbuhan, perkembangan, dan pendidikan karakter bagi anak, sehingga jika
keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anak, maka akan sulit
bagi institusi lain di luar keluarga untuk memperbaikinya.[35]
Tanpa pembekalan pendidikan yang sempurna, masa depan anak tidak akan baik.
Perhatian terhadap pendidikan pendidikan anak yang diberikan sejak tahap
perkembangan ketika anak mulai duduk, berjalan, lari dan bermain sungguh
merupakan investasi yang sangat tepat. Pada saat seperti itu orang tua menjadi
panutan utama yang perlu memberi bimbingan, menumbuhkembangkan kecerdasan
inteektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, agar pengalaman
masa anak-anak bisa menjadi bekal yang kuat ketika anak tumbuh kembang menjadi
dewasa yang mempunyai kemmapuan intelektual, sehat serta berkepribadian yang
bermoral (Suyono, 2001).[36]
Pembelajaran
karakter berdasarkan fitrah manusia adalah suatu sistem pembelajaran yang
bertujuan untuk penanaman nilai-nilai Islam dan budi pekerti luhur, yang
diarahkan kepada pembentukan manusia sutuhnya di atas pola dasar dari fitrah
yang telah dibentuk Allah dalam setiap pribadi manusia dengan tujuan
menciptakan pribadi yang berkarakter kuat, sehat dan cerdas.[37]
Menurut
Mochtar Bukhari tantangan kehidupan di masa sekarang ini ditandai dengan
kecenderungan sebagai berikut:[38] Pertama, kecenderungan untuk
berintegrasi dalam kehidupan ekonomi dan kecenderungan untuk berpecah belah
atau fragmentasi dalam kehidupan politik. Kedua kecenderungan ini sudah bisa
dirasakan oleh berbagai lapisan negara yang ada di dunia. Kedua, tantangan globalisasi yang akan mewarnai seluruh kehidupan
di masa yang akan datang. Ketiga, tantangan
dunia kerja semakin kompetitif. Pada masa sekarang ini diperlukan SDM yang
unggul agar bisa berkompetensi dalam dunia kerja pemilik SDM unggul akan
sejahtera sedangkan orang tidak memiliki skill
maka kan tertinggal bahkan akan digilas oleh arus perkembangan zaman. Keempat, tantangan kemajuan sains dan
teknologi. Pada masa ini negara-negara yang maju dan sejahtera adalah
negara-negara yang menguasai sains dan teknologi, sedangkan negara yang
terbelakang akan semakin terpuruk dalam berbagai bidang termasuk akan
tertinggal dalam bidang kesejahteraan.
Untuk
untuk mengetahui implikasi fitrah manusia dalam teori perkembangan manusia,
maka sebaiknya fitrah tidak diartikan dengan definisi yang sempit. Selama ini
sebagian orang berasumsi bahwa orientasi fitrah hanya mengurusi pada
organ-organ jasmani dan rohani yang tidak bisa ditumbuhkembangkan melalui
pembinaan. Sehingga lingkup fitrah hanya sebatas kemampuan yang diturunkan dari
gen atau keturunan yang sudah tumbuh tanpa adanya pembinaan. Jika demikian,
maka pembinaan dan pendidikan yang dilakukan keluarga dan instansi tidak pernah
ada hasilnya.
Menurut
Quraish Shihab kesejahteraan dalam Islam dimulai dari perjuangan mewujudkan
serta menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri sendiri, karena
dari diri yang seimbang akan lahir masyarakat yang seimbang. Bahkan
kesejahteraan hakiki lahir dengan “Islam” yaitu penyerahan diri seutuhnya
kepada Allah swt, karena tidak akan memperoleh ketenangan jika memiliki
kepribadian yang pecah (split personality).
Untuk mencapainya manusia tidak bisa mendapatkan begitu saja akan tetapi
diperlukan usaha yang maksimal baru berserah diri.[39]
Dalam
Al-Qur’an, surat At-Taubah dijelaskan bahwa yang dinilai adalah perbuatan
manusia, yang akan menentukan eksistensinya. Perbuatan manusia merupakan
pernyataan yang akan menentukan atas dirinya, baik di tengah masyarakat maupun
di hadapan Rasul dan Allah. Di dalam Al-Qur’an juga ditemukan penjelasan tentang
perbuatan manusia dalam realitas sosial, yang pasti memiliki perbedaan tingkah
laku dalam kedudukan sosial yang berbeda (QS Az-Zumar(39):39-40). Adapun di
dalam Al-Quran Surah Al-Isra (17): 84 dijelaskan perbuatan manusia dengan
kemampuan yang dimilikinya. Mengapa, karena kemampuan manusia itu berbeda-beda
secara alami. Ini dapat menjadi anjuran etik agar manusia berbuat optimal.[40]
Amal
manusia sesungguhnya ujian terhadap kualitasnya. Oleh karena itu, Al-Qur’an
juga membebaskan manusia untuk memilih suatu perbuatan sebab tanpa kebebasan,
tentu ujian terhadap amal akan menjadi tidak bermakna. Jadi manusialah sendiri
yang menentukan perbuatan sehingga ia wajib mempertanggungjawabkannya.
Kebebasan tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab (QS An-Nur (24): 23-25);
Al-Kahfi (18): 110; Al-Aqqad, 1993:11-19).[41]
Manusia
wajib melakukan ikhtiar dengan sungguh-sungguh karena dari sekian banyak
makhluk yang diciptakan Allah, manusialah yang mempunyai posisi yang unk. Ia
diberi kebebasan untuk berkehendak agar mampu menyempurnakan tugasnya sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Dalam hal ini, manusialah yang wajib menyadari
bahwa ia tidak diciptakan sekedar untuk peraminan, akan tetapi untuk
melaksankan suuatu misi yang sangat berat, yaitu khalifah.
Namun
demikian, potensi yang dimiliki setiap manusia itu tidak seleruhnya dapat
berkembang secara optimal. Para ahli psikologi telah memperkirakan bahwa
manusia hanya menggunakan sepuluh persen dari kemampuan yang dimilikinya sejak
lahir. Oleh karena itu tugas utama orang tua dan para pendidik untuk
menumbuhkembangkan segenap potensi yang ada pada diri anak agar dapat
berimplikasi pada kehidupannya melalui sebuah proses pembelajaran yang efektif.
Dari
sini dapat ditandai bahwa pendidikan merupakan wadah dan sarana yang dapat digunakan
untuk mengembangan potensi dasar manusia sesuai dengan fitrah penciptaannya,
sehingga mempu berkontribusi dan diterapkan dalam berbagai lapisan kehidupan.
Abu
Ahmadi mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyempurnakan perilaku dan
membina kebiasaan sehingga siswa terampil menjawab tantangan situasi hidup
secara manusiawi. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional kita yaitu
untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3:[42]
“Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak aerta peradaban
bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan dan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta
bertanggung jawab.”
Dalam
konteks pengembangan potensi inilah, pendidikan Islam harus dapat memenuhi
beberapa keinginan, harapan dan kebutuhan anak didik, baik secara rohaniah
maupun jasmaniah. Di sisi inilah letak pentingnya pembelajaran dalam pendidikan
Islam dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik, yaitu bagaimana
mengkonstruk pembelajaran pendidikan Islam sesuai dengan minat dan kpotensi
dasar yang dimiliki seorang anak.
Selanjutnya
pembelajaran pendidikan Islam harus mengusung prinsip
humanistic-konstruktivistik, yaitu pembelajaran yang menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan dasar anak sesuai dengan minat dan potensinya dalam
upaya melaksanakan tugas dan fungsinyan sebagai hamba Allah dan sebagai
khalifah di muka bumi ini.
Sebagai
hamba Allah, pendidikan dilakukan untuk mentransformasikan pengetahuan,
pemahaman, dan pengaplikasian yang benar dalam melaksanakan ajaran Islam sebuah
kebutuhan emosional spiritual. Pada tataran praktis pembelajaran agama Islam
dengan menggunakan pendekatan ini menekankan pada pembelajaran kepercayaan atau
keyakinan yang benar (‘aqidah,
pengaplikasian ibadah secara istiqamah
(syari’ah) serta penanaman etika-moral Islam (akhlaq).
Dalam
konteks pembelajaran modern, materi, kurikulum, metode dan evaluasi pendidikan
Islam harus ditekankan pada proses
pembelajaran afektif melalui penanaman pengetahuan moral (moral knowing) yang dilanjutkan dengan kesadaran moral (moral understanding) dan yang terpenting
adalah perilaku moral (moral
understanding) dan yang terpenting adalah perilaku moral (moral action), di samping juga tidak
dapat dikesampingkan pembelajaran kognitif dan psikomotorik.
Sedangkan
dalam konteks manusia sebagai khalifah Allah
di muka bumi, pendidikan Islam harus dapat menumbuhkembangkan potensi dasar
anak didik dalam upayanya melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya.
Potensi-potensi itu barangkali dapat mengacu berbagai fitrah yang dimiliki
manusia dalam upaya memakmurkan bumi.
Pada
tataran praktis, dalam perspektif di atas pendidikan Islam harus dapat
mempersiapkan anak didik dengan berbagai ilmu pengetahuan, keahlian, dan skill
untuk dapat mengelola, merawat mengatur bumi untuk mencapai kesejakteraan dan
kemakmuran manusia. Pada sisi inilah letak pentingnya pengemvangan potensi
piker manusia dengan melalui pengembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan
sehingga menghasilkan berbagai keahlian dan profesionalisme sesuai dengan
bidangnya masing-masing. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah
pengembangan potensi zdikir sebagai aspek aksiologis ilmu pengetahuan.
F.
Kesimpulan
Dari uraian di
atas dapat diketahui bahwa para ilmuwan muslim dan muafssirin memiliki
pandangan-pandangan yang beraneka ragam terkait dengan fitrah dalam perspektif
Al-Qur’an dan Al Hadits. Dari kajian-kajian literatur tersebut pula dapat
disimpulakn bahwa fitrah yang dibawa manusia sejak lahir dapat
ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan dan pembinaan. Hal itu sudah
pasti, karena jika fitrah tidak bisa ditumbungkembangkan lalu apa sebenarnya
tujuan dari sebuah pendidikan. Fitrah yang dibawa manusia sejak lahir dapat
ditumbuhkembangkan dengan maksimal jika didukung dengan komponen-komponen yang
memadai, termasuk peran keluarga, lingkunga sekitar, teman bergaul, dan
orang-orang yang ditemuinya dalam kehidupan.
Fitrah bukanlah
sesuatu yang pasif dan stagnan yang hanya bisa menerima apa yang ditakdirkan.
Berbanding terbalik dengan itu fitrah adalah sesuatu yang selalu dinamis dan
mengalami peningkatan jika dipengaruhi dan diiringi dengan bimbingan dan
pengarahan melalui proses pendidikan.
Dalam pandangan
Al-Qur’an dan Al Hadist teori perkembangan manusia sebenarnya sudah relevan
dengan apa yang dikatakan dalam wahyu. Di dalam Al-Qur’an manusia diberi
seperangkan kemampuan dasar dalam bentuk, ruh, aql, qalb, dan nafs. Senada dengan hal itu di dalam Hadist pun
disebutkan bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah dan telah beragama.
G.
Referensi
Ahmad, Askar. “Potensi Dan Kekuatan Kecerdasan Pada
Manusia (IQ, EQ, SQ) Dan Kaitannya Dengan Wahyu.” HUNAFA 3, no. 3 (15
September 2006): 215–30. doi:10.24239/jsi.v3i3.265.215-230.
Dedi Wahyudi. “Islam
dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam di Dunia Barat).” Fikri
Vol. 1, No. 2, (Desember 2016): h.
Dody Setyawan, Totok
Sasongko. “Pembentukan Karakter dalam Usaha Mencetak Sumber daya Manusia yang
Berpotensi.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.4, No. 2 (n.d.).
Farah, Naila, dan Cucum
Novianti. “Fitrah dan Perkembangan Jiwa Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali.” JURNAL
YAQZHAN: Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan 2, no. 2 (1 Desember
2016): h.
Habibatul Azizah, Dedi
Wahyudi. “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep Learning Revolution”
v26.1-28 (2016): h. doi:10.18326/attarbiyah.
Hamzah Djunaid. “Konsep
Pendidikan dalam Al-Qur’an.” Lentera Pendidikan Vol 17, No. 1 (1 Juni
2014).
Ismail, Syarifah.
“Tinjauan Filosofis Pengembangan Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam.” At-Ta’dib
8, no. 2 (14 Desember 2013): h. doi:10.21111/at-tadib.v8i2.510.
Jannet, Herly.
“Pendidikan Agama dalam Kultur Sekolah Demokratis: Potensi membumikan
Deradikalisasi Agama di Sekolah.” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan 23, no. 1 (15 Juni 2015): 51–68. doi:10.21580/ws.2015.23.1.223.
Kasnun. “Perkembangan
Peserta Didik dalam Al-Qu’an (Telaah Psikologi Perkembangan.” Cendekia
Vol. 9, No. 2 (n.d.).
Maimunah, Maimunah.
“Peran Orang Tua Dalam Mengembalikan Fitrah Anak.” Horizon Pendidikan 8,
no. 1 (15 Agustus 2016): h.
M.Ihsan Dacholfany.
“Manajemen Mutu Pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam.” Akademika: Jurnal
Pemikiran Islam Vol 15, No. 02 (n.d.).
Nasrudin, Iyus
Herdiana, dan Nif’an Nazudi. “Pengembangan Model Pendidikan Karakter
Berdasarkan Sifat Fitrah Manusia.” Jurnal Pendidikan Karakter 0, no. 3
(6 Oktober 2015): h. doi:10.21831/jpk.v0i3.5631.
Risnita, Risnita.
“Diagnostik Potensi Peserta Didik.” Al-`Ulum 1, no. 0 (2 Mei 2012).
http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/alulum/article/view/329.
Salik, Mohamad.
“Mengembangkan Fitrah Anak Melalui Pendidikan Islam (Studi Atas Pemikiran
Hamka).” El-Qudwah 0, no. 0 (9 Februari 2015): h.
Santoso Irfaan.
“Konsepsi Al-Qur’an Tentang Manusia.” Jurnal Hunafa Vol. 4, No. 3
(n.d.).
Solichin, Mohammad
Muchlis. “Fitrah; Konsep dan Pengembangannya dalam Pendidikan Islam.” Tadris:
Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 2 (5 Juli 2007): h.
doi:10.19105/jpi.v2i2.219.
Suparta. “Tantangan
Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Umat dan Implikasinya terhadap
Kesejahteraan Umat.” Akademika: Jurnal Pemikiran Islam Vol. 20, No, 02
(n.d.).
Thalib. “Keterampilan
Memberikan Perhatian dalam Konseling dan Telaah Ayat Al-Qur’an.” Jurnal
Hunafa Vol. 5, No, 3 (Desember 2008).
Tuti Alafiah, Dedi
Wahyudi. “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences
dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam.” Pembelajaran… (Dedi Wahyudi
& Tuti Alafiah Vol. 8 (Desember 2016). doi:10.18326/mudarrisa.
Yurnalis, Yurnalis.
“Motivasi Belajar Sebuah Strategi Mengungkap Potensi Kecerdasan.” MENARA
12, no. 1 (2 Juni 2013): 66–73.
[1] Dedi
Wahyudi Tuti Alafiah, “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple
Intelligences dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam,” Pembelajaran…
(Dedi Wahyudi & Tuti Alafiah Vol. 8 (Desember 2016): 2,
doi:10.18326/mudarrisa.
[2] Mohammad
Muchlis Solichin, “Fitrah; Konsep dan Pengembangannya dalam Pendidikan Islam,” Tadris:
Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 2 (5 Juli 2007): 3,
doi:10.19105/jpi.v2i2.219.
[3] Herly
Jannet, “Pendidikan Agama dalam Kultur Sekolah Demokratis: Potensi membumikan
Deradikalisasi Agama di Sekolah,” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan 23, no. 1 (15 Juni 2015): 54, doi:10.21580/ws.2015.23.1.223.
[4] Dedi
Wahyudi, “Islam dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam di Dunia
Barat),” Fikri Vol. 1, No. 2, (Desember 2016): 8.
[5] Kasnun,
“Perkembangan Peserta Didik dalam Al-Qu’an (Telaah Psikologi Perkembangan,” Cendekia
Vol. 9, No. 2 (n.d.): 2.
[8] Mohamad
Salik, “Mengembangkan Fitrah Anak Melalui Pendidikan Islam (Studi Atas
Pemikiran Hamka),” El-Qudwah 0, no. 0 (9 Februari 2015): 4.
[9] Naila
Farah dan Cucum Novianti, “Fitrah dan Perkembangan Jiwa Manusia dalam
Perspektif Al-Ghazali,” JURNAL YAQZHAN: Analisis Filsafat, Agama dan
Kemanusiaan 2, no. 2 (1 Desember 2016): 5.
[10] Syarifah
Ismail, “Tinjauan Filosofis Pengembangan Fitrah Manusia dalam Pendidikan
Islam,” At-Ta’dib 8, no. 2 (14 Desember 2013): 243, doi:10.21111/at-tadib.v8i2.510.
[12] Maimunah
Maimunah, “Peran Orang Tua Dalam Mengembalikan Fitrah Anak,” Horizon
Pendidikan 8, no. 1 (15 Agustus 2016): 120.
[16] Askar
Ahmad, “Potensi Dan Kekuatan Kecerdasan Pada Manusia (IQ, EQ, SQ) Dan Kaitannya
Dengan Wahyu,” HUNAFA 3, no. 3 (15 September 2006): 222,
doi:10.24239/jsi.v3i3.265.215-230.
[18] Ahmad,
“Potensi Dan Kekuatan Kecerdasan Pada Manusia (IQ, EQ, SQ) Dan Kaitannya Dengan
Wahyu,” 221.
[20] Hamzah
Djunaid, “Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an,” Lentera Pendidikan Vol 17,
No. 1 (1 Juni 2014): 143.
[22] Dedi
Wahyudi Habibatul Azizah, “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep
Learning Revolution” v26.1-28 (2016): 3, doi:10.18326/attarbiyah.
[27] Nasrudin,
Iyus Herdiana, dan Nif’an Nazudi, “Pengembangan Model Pendidikan Karakter
Berdasarkan Sifat Fitrah Manusia,” Jurnal Pendidikan Karakter 0, no. 3
(6 Oktober 2015): 3, doi:10.21831/jpk.v0i3.5631.
[29] Risnita
Risnita, “Diagnostik Potensi Peserta Didik,” Al-`Ulum 1, no. 0 (2 Mei
2012): 89, http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/alulum/article/view/329.
[30] M.Ihsan
Dacholfany, “Manajemen Mutu Pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam,” Akademika:
Jurnal Pemikiran Islam Vol 15, No. 02 (n.d.): 112.
[32] Ahmad,
“Potensi Dan Kekuatan Kecerdasan Pada Manusia (IQ, EQ, SQ) Dan Kaitannya Dengan
Wahyu,” 215.
[33] Thalib,
“Keterampilan Memberikan Perhatian dalam Konseling dan Telaah Ayat Al-Qur’an,” Jurnal
Hunafa Vol. 5, No, 3 (Desember 2008): 3.
[34] Yurnalis
Yurnalis, “Motivasi Belajar Sebuah Strategi Mengungkap Potensi Kecerdasan,” MENARA
12, no. 1 (2 Juni 2013): 69.
[35] Totok
Sasongko Dody Setyawan, “Pembentukan Karakter dalam Usaha Mencetak Sumber daya
Manusia yang Berpotensi,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.4, No.
2 (n.d.): 2.
[37] Nasrudin,
Herdiana, dan Nazudi, “Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berdasarkan Sifat
Fitrah Manusia,” 268.
[38] Suparta,
“Tantangan Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Umat dan Implikasinya terhadap
Kesejahteraan Umat,” Akademika: Jurnal Pemikiran Islam Vol. 20, No, 02
(n.d.): 361.
0 komentar:
Posting Komentar