Dewasa ini hidup kita sudah tidak terpisah dengan yang namanya internet. Mendengar kata internet rasanya semua orang sudah pasti mudeng. Apalagi kalangan pelajar dan mahasiswa. Baik internet sebagai sumber informasi maupun internet sebagai media pamer dan menyebar provokasi. Pelajar atau mahasiswa zaman sekarang kalau tidak punya whatsapp, facebook, instagram dan sederetan sosial media lain, pasti akan menyandang gelar kudet aliyas kurang up date.
Berawal dari kepemilikan sosial media dan murahnya jaringan internet, ternyata menjadi pengaruh bagi konsumtif bagi kita semua. Mulai dari konsumtif barang, jasa hingga informasi. Bahkan setiap hari kita pasti akan selalu mengonsumsi fast information. Sebagaimana kita tahu bahwa fast food tidak baik pengaruhnya bagi tubuh kita. Fast information yang kita dapat di broadcast sosial media juga sebenarnya ada dampak negatifnya bagi nutrisi otak kita. Broadcast melalui pesan singkat tak jarang kita jumpai tidak dapat dipertanggungjawabkan sumber referensi dan keilmiahannya. Tak memandang status pengguna sosial media itu, kini hoax tak jarang diidap oleh para intelektual sekalipun. Bahkan saya juga sering terperangkap hoax. Hanya saja saya jarang sekali ikutan menyebarkan berita-berita yang kebenarannya belum benar-benar saya yakini.
Persoalan selanjutnya adalah atas dasar apa orang-orang pengonsumsi hoax itu antusias menyebarkannya? Apakah dengan membroadcast ke semua kontak whatsappnya dia akan memperoleh vee? Ataukah ketika dia berhasil menyebarkan info singkat, padat dan tidak jelas itu dia akan mendapat marwah yang mulia di mata orang-orang? Toh kita sebagai penerima broadcast tak pernah mempertimbangkan itu. Setiap membaca peaan broadcast di grup atau pesan singkat lain, pernahkah kita memandang mulia si pengirim? Biasa saja kan?
Kenapa? Karena kita tahu informasi itu bukanlah dia si pengirim yang menulis. Karena kita tahu bahwa informasi itu pasti hanya dia dapat dari broadcast-an juga. Yang ketika ditanya lebih lanjut belum tentu si pengirim itu bisa menjelaskan lebih detailnya. Saya pernah membaca broadcast di sebuah grup whatsapp, si pengirim memberitahukan informasi beasiswa dengan sederet persyaratan yang bagi kami penghuni grup syarat-syarat itu bukan hal yang sulit. Tapi ternyata, dalam info itu tidak tertera alamat untuk mengirim syarat-syaratnya. Ketika ditanya, si pengirim juga tidak bisa menjawab atau menjelaskan bagaimana teknisnya. Nah seperti itulah, contoh informasi yang tidak bertanggung jawab. Bukannya mendapat marwah si pengirim justru akan merasa malu dan menyesal karena telah mem-broadcast informasi itu.
Selanjutnya apa yang perlu atau sebaiknya kita lakukan sebagai akademisi dalam menyikapi hal itu. Seperti yang sebagian orang katakan, "Menulislah." Dengan menulis kamu akan menjaga kewarasan. Dengan menulis kamu akan belajar bertanggungjawab atas apa yang kamu lakukan, atas apa yang kamu sampaikan, atas sumber-sumber informasi yang kamu dapatkan. Jangan hanya menjadi konsumtif informasi yang tanpa disadari kita sedang di kemudikan untuk membangun opini yang dikehendaki provokator. Tanpa berani memulai dan memproduksi informasi selamanya kamu akan jadi follower (pengikut) berita-berita hoax.
Sekian
Ririn Erviana